Kamis, 13 Juni 2013

Artikelku: Kebanggaan semu dari dosa manusia


“Lebih dari emas..
Lebih dari permata..
Kau buatku berharga, dimata-Mu Yesus..”

Karna salib-Mu, kuhidup..
Karna salib-Mu, kumenang..
Engkau yang berkuasa.. sanggup..
Tuk melakukan mujizat-Mu dihidupku..”

Dua lirik lagu rohani diatas adalah salah satu yang aku senangi sampai saat ini..
Yang selalu menguatkan aku juga tentunya..

Mungkin banyak alasan mengapa aku menyukainya..
Tapi secara singkat, hal itu mengungkapkan kalau manusia itu lemah tak berdaya..
Sebenarnya manusia itu tak punya kekuatan apa-apa dan kuasa yang besar..
Manusia memiliki keterbatasan yang sangat banyak..
Sekalipun mereka bisa menjatuhkan dan menguasai satu sama lain, antar penguasa atau antar pemerintah atau apalah.
Mereka tetap tidak akan bisa menghindari kematian, ya kan?
Hal itu adalah bukti bahwa manusia sangat terbatas, tak tahu mana garis akhir hidupnya..
Dan juga tak tahu masa depannya..
Gitu kok masih ada yang menyombongkan dan membanggakan dirinya,
Prestasinya. Kekayaannya. Prestisnya. Sungguh tak tahu malu ya manusia itu.
Sebenarnya, tak ada yang bisa dibanggakan bahkan..
Atau mungkin.. manusia itu juga bisa dibilang.. hina..

Jikalau ada yang mengelak pernyataan ini.. hmm..
Berarti dia adalah orang yang paling suci di dunia ini..
Setiap manusia itu hina karena keberdosaannya.. kelemahannya.. keburukannya.. perbuatannya .. dan.. hmm.. mungkin semuanya.
Bayangin aja, mikir aneh-aneh atau niat buruk yang belum terjadi itu udah dianggap dosa..
Sangat sulit dan mustahil menurutku manusia modern saat ini luput dari yang namanya dosa..
Bahkan di tempat ibadah setiap agamapun, manusia juga masih berani berbuat dosa.
Haha. Payah.

Dengan kondisi yang seperti itu, manusia ingin mencari sesuatu yang lebih besar daripadanya..
manusia mencoba menemukan sesuatu yang tidak terbatas dan sifatnya mutlak.
Aku mau bertanya pada kalian, yang mana yang benar dari pernyataan ini,
Manusia menemukan agama melalui Tuhan, ataukah manusia menemukan Tuhan melalui agama?

Hmm.. sebenarnya pertanyaan ini dapat dijawab sekaligus tidak dapat dijawab oleh masing-masing agama didunia ini. Mengapa demikian?
Karena setiap agama mempunyai budaya dan konteksnya masing-masing.
Jika ada satu hal yang disakralkan dalam sebuah agama belum tentu agama yang lain juga mensakralkan hal itu.
Misal, saya pernah melihat sebuah gambar yang memperlihatkan sebuah ritual sebuah agama tertentu. Dalam gambar itu, terlihat beberapa orang ibu-ibu berpakaian adat menyunggi sebuah tempat berisi buah-buahan diatas kepalanya. Mereka membawanya dari rumah sampai ke tempat ibadah mereka buat dipersembahkan.
Orang lain yang tidak mengerti ritual agama tersebut mungkin akan berpandangan seperti ini,
“buat apa sih susah-susah dibawa, ditaruh keranjang dengan cara dibawa biasa aja kan bisa, gitu kan jadi pusing kepalanya..” atau mungkin ada yang lebih parah, “bu, minta buahnya satu dong bu, haus nih, kalau makan itu kan enak seger”
Untuk tanggapan yang kedua jangan dicontoh, ntar kamu malahan yang dipersembahin, bukan buahnya.
Padahal kan sebenarnya kan arti simbolik mereka adalah, mereka ingin mempersembahkan hasil panen terbaiknya, yang telah disucikan sebelumnya. Cara mereka membawa buah disunggi juga menyiratkan bahwa mereka begitu mengagungkan dan menghormati persembahan mereka.
Contoh lain juga misal, tentang makanan haram dan tidak haram, agama tertentu mengharamkan makanan tertentu, tetapi agama yang lain tidak. Karena memang dulunya, mereka mempunyai konteks agama tersendiri yang membuat mereka mengharamkan itu.
Atau mungkin, ini permasalahan yang lebih real(dalam agamaku tentunya). Apakah seorang pendeta itu harus selalu memakai jubah hitam dengan memakai toga dalam berkhotbah? Itu juga relatif dan pragmatis karena sikon dan konteks setiap tempat.
Tidak mungkin juga rasanya pendeta dipedalaman harus seperti itu, atau mungkin ada beberapa pendeta yang sangat nyentrik karena budaya yang mempengaruhinya. Saya pun pernah mendapati seorang pendeta nyentrik di Jogja, tempat kuliah sekaligus pelayanan saya. Dia berkhotbah tetap memakai kemeja hitam khas pendeta, tetapi dengan memakai sebuah blangkon khas Jogja dikepalanya. Kontekstualisasi kebudayaan yang unik bukan?

Pencarian akan adanya Tuhan tersebut seringkali mengalami kesulitan karena keterbatasan manusia itu tadi. Pada akhirnya, orang-orang atheis akan menggoncang iman kita kaum agamawan.
Disinilah sebenarnya iman kita diuji.
Dalam pikiran dan pengalaman pribadiku, Tuhan memperlihatkan dirinya melalui alam semesta dan kejadian-kejadian ajaib dalam hidup manusia. Terkadang tak dapat dipungkiri bahwa ada kejadian irrasional yang tak mungkin terjadi dan yang tak bisa manusia lakukan.
Manusia sering menyebutnya dengan kata “Mujizat.”
Mujizat bagiku adalah sebuah anugrah yang luar biasa.
Karena aku berpikir, dalam ketidak berdayaanku, Tuhan masih memperdulikan aku.
Dan dengan anugerah melalui mujizat itu, seakan-akan Tuhan telah melayakkan  manusia untuk menerima semua ‘penghargaan’ itu. Sekalipun mungkin saja manusia itu akan kembali ke dosa lamanya.
Akupun bersyukur, Tuhan telah melayakkan aku melalui Tuhan Yesus Kristus, sosok yang menjadi anugrah terbesar dalam hidupku.
Tuhan membuat hidupku semakin berwarna. Tuhan bahkan membuat kenyamanan dalam  kesedihan dan kesesakanku.
Tuhan juga membuat imanku terjaga karena perbuatan-perbuatan mujizat-Nya.
Tuhan sangat percaya pada kita ketika kita juga mempercayai-Nya.

Mungkin banyak pertanyaan kita tentang sosok Tuhan.
Tapi inilah Tuhan dalam kekudusan-Nya, sehingga ‘dosa’ tak dapat melihat-Nya sedikitpun.
Tuhan ada dalam setiap hati kita yang mempercayai-Nya.
Tuhan ada ketika kita mengalaminya, dan Tuhan terpikirkan ketika tidak terpikirkan…….

1 komentar:

  1. "Engkau yang berkuasa.. sanggup..
    Tuk melakukan mujizat-Mu dihidupku..”
    like this mas ..:)
    lagu itu sangat memberkati ..

    BalasHapus